Senin, 19 April 2010

Opini Masalah Nasionalisme/Kewarganegaraan


1.   Dosa bagi kebanyakan manusia adalah konsep abstrak yang menurut lisannya diimani. Namun sudah jamak jika seringkali diabaikannya bahkan diremehkannya, lantaran sebab sesungguhnya dosa itu tak sepenuhnya qolbunya menghaqqul yakini.

Pengabaian yang manusiawi, lantaran konsep dosa itu terlalu abstrak, dan lagi pula dampak dari hasil akibatnya barulah akan ditunainya di akherat yang rentang masanya masihlah kelak jauh di kemudian hari.

Salah satu diantaranya, yang berkaitan dengan konsep dosa, yang seringkali diremehkannya adalah dalam soal sumpah palsu atau kesaksian palsu, atau juga biasa disebut dengan perkataan zuur.

Padahal Rasulullah SAW dalam sabdanya pernah memperingatkan bahwa perkataan zuur (sumpah palsu/kesaksian palsu) termasuk perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa besar.

Sebesar-besarnya dosa adalah mempersekutukan Allah SWT (syirik), durhaka terhadap kedua orangtuanya,dan perkataan zuur (sumpah palsu/kesaksian palsu)”. [HR. Imam Bukhari].
Memang sungguh benar sabda Rasulullah SAW, bahwasanya sumpah palsu atau kesaksian palsu adalah dosa besar. Mengingat jika kita tafakuri, maka akan terlihat betapa dahsyat dan betapa melua snya dampak akibat penderitaan yang akan ditimbulkan oleh sumpah palsu atau kesaksian palsu tersebut bagi orang lain.

Akibat dari sumpah palsu atau kesaksian palsu tak hanya dapat membuat orang lain menjadi terjebloskan ke dalam penjara, bahkan juga menjungkirbalikkan kebenaran dimana rasa keadilan di masya rakat menjadi terhilangkan.

Kedahsyatannya akan menjadi bertambah-tambah hingga tiada terkira, jika sumpah palsu dan kesaksian palsu tersebut dipertemukan dengan suatu konspirasi dalam merekayasa hukum.

Berkait dengan rekayasa hukum dalam sebuah konspirasi yang menjungkirbalikkan kebenaran dan menciderai keadilan. Rasulullah SAW dalam sabdanya juga memperingatkan akan potensi bahayanya yang akan menimpa sebuah masyarakat lantaran rekayasa hukum itu.

Jika hukum dengan mudah direkayasa oleh orang-orang yang berada di institusi penegak hukum, maka sesungguhnya akan mendatangkan petaka dan bencana bagi masyarakatnya.


Ibn Abbas meriwayatkan, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa jika ada tiga golongan manusia yang apabila ketiganya itu ada, maka akan membawa bencana. Yaitu ahli agama yang durhaka, dan pemimpin atau pejabat pemerintah yang aniaya, serta para ahli hukum yang bodoh.

Ahli hukum yang bodoh adalah penegak hukum dalam menetapkan hukum bukan berdasarkan rasa keadilan, termasuk juga malahan ikut merekayasa hukum dan membiarkan terjadinya sumpah palsu atau kesaksian palsu.

Pemimpin yang aniaya adalah penguasa yang menjadikan kedudukannya hanya untuk kepentingan duniawi, termasuk pemimpin yang lantaran kepentingan duniawinya lalu sengaja membiarkan kebenaran dijungkirbalikkan dan keadilan dicederai sedangkan dirinya mempunyai kekuasaan untuk meluruskannya.

Ahli agama yang durhaka adalah alim ulama yang menjadikan agama sebagai alat kepentingan duniawi, termasuk memberikan dukungan dalil-dalil agama sebagai pembenar bagi para ahli hukum yang bodoh dan penguasa yang aniaya.

Berkait dengan tiga golongan itu, jika merujuk kepada hadits diatas yang menyebutkan jika ada tiga golongan manusia yang apabila ketiganya itu ada, maka akan membawa bencana.

Perlulah juga kita ingat bahwa Allah SWT berfirman :

"…Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya…" [QS. An-Anfal : 8 : 25]

Maka, jika sumpah palsu dan kesaksian palsu sudah merajalela, dimana para ahli hukum yang bodoh dan penguasa yang aniaya serta ahli agama yang durhaka sudah pula berkonsiprasi merekayasa hukum sehingga keadilan terciderai dan membiarkan terjadinya rekayasa hukum dimana orang-orang tak bersalah dijebloskan kedalam penjara, itu sama halnya dengan masyarakatnya harus bersiap menyongsong datangnya petaka dan bencana. Wallahualambishshawab.

Referensi Artikel Terkait :
  • Rekayasa Missing Link Kasus KPK”, klik disini atau disini
  • Kemana Muara Kasus Kriminalisasi KPK ?”, klik disini atau disini
  • Bibit Chandra Secepatnya Diadili ?” , klik disini atau disini
  • Chandra Samad pun akhirnya akan Tamat”, klik disini atau disini
  • Keberhasilan Upaya Mengganti Pimpinan KPK”, klik disini atau disini
  • Rekomendasi Tim 8 kepada Presiden SBY”, klik disini atau disini
  • Komisi III dan Suara Rakyat Pemilih”, klik disini atau disini
  • Kriminalisasi KPK : Puisi Republik Mimpi Buruk”, klik disini atau disini

Catatan Kaki :
  1. Foto-foto diatas hanya sebagai ilustrasi yang dicopy paste dari berbagai sumber di internet.
  2. Tulisan berjudul “Bencana dan KPK” juga dapat dibaca di Kompasiana den

2.   Perkembangan politik belakangan ini cukup menyejukkan. Kehadiran GusDur didalam pemerintahan RI telah memungkinkan suku Tionghoa di Indonesia merayakan tahun baru Imlek -- tahun baru orang Tionghoa – secara terbuka untuk pertama kalinya dalam 32 tahun.

Perayaan-perayaan tahun baru Imlek pada bulan Februari 2000 di kota-kota besar Indonesia berjalan lancar. Untuk pertama kalinya dalam 32 tahun, masyarakat Indonesia bisa menikmati pertunjukan Liang Liong dan Barongsai secara besar-besaran. Yang mencolok, perayaan besar-besaran ini berlangsung tanpa kerusuhan, tanpa gangguan masyarakat. Yang lebih penting lagi, mereka jelas dinikmati oleh semua orang yang berpartisipasi, baik yang berasal dari suku Tionghoa maupun yang berasal dari berbagai suku lainnya.

Ini menunjukkan bahwa Rakyat Indonesia disamping memiliki toleransi terhadap berbagai perbedaan, juga menghargai adat istiadat serta kebiasaan yang dianut oleh suku-suku lainnya. Kelancaran perayaan-perayaan tersebut di atas juga membuktikan bahwa benih-benih rasialisme yang melekat di dalam benak banyak orang - akibat kebijakan “divide and rule” penjajah Belanda - bisa dikesampingkan untuk mendemonstrasikan penghargaan terhadap berbagai perbedaan. Ini juga membuktikan bahwa ledakan-ledakan rasialisme yang terjadi selama ini di”sulut” atau direkayasa oleh pihak-pihak yang menginginkan proses pembangunan bangsa – Nation Building – terhenti.

Memang sebaiknya kita tidak “menghidupkan” kembali perdebatan antara paham integrasi dan paham assimilasi. Yang penting adalah mengakui bahwa perbedaan di dalam tubuh bangsa Indonesia itu ada dan akan terus ada. Perbedaan tidak seharusnya dipaksa untuk lenyap, karena tindakan ini merupakan kelaliman yang patut dikutuk. Jalan keluarnya adalah memupuk keinginan untuk bahu membahu membangun Indonesia tanpa memusingkan latar belakang race, agama maupun aliran politik. Proses rekonsiliasi di bawah pimpinan GusDur, tampaknya berjalan, walaupun perlahan.

Perkembangan ini harus digunakan oleh para pejuang reformasi untuk “menggalakkan” dan mempercepat Nation Building sehingga bangsa Indonesia bisa kembali berkembang sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dalam mengisi kemerdekaan dan mencapai kemakmuran yang diidam-idamkan



3.    Masalah Dengan Nasionalisme

“In my post on immigration , I referenced the Catholic principle, the notion that (in Catholic social teaching), the concept of neighbor extends to the whole human race”. Dalam posting saya di imigrasi , saya direferensikan prinsip Katolik, gagasan bahwa (dalam sosial ajaran Katolik), konsep tetangga meluas ke seluruh umat manusia.

“In that sense, I have some basic problems with nationalism , the glorification of the nation state, or at the very least, the claim that it takes precedence over other claims of loyalty”. Dalam hal ini, saya memiliki beberapa masalah dasar dengan nasionalisme , pemuliaan negara bangsa, atau paling tidak, klaim bahwa diutamakan atas klaim lain kesetiaan.

“The way many Americans treat the concept of culture, flag, nation-- well, borders on idolatry”. Cara banyak orang Amerika memperlakukan konsep budaya, bendera, bangsa - baik, berbatasan dengan penyembahan berhala.

“Nowhere is this clearer than with discussions of the Iraq war. Hal ini paling jelas dibandingkan dengan diskusi tentang perang Irak. Priests have been accused of treason for merely preaching Pope John Paul's opposition to the war from the pulpit”. Imam telah dituduh melakukan pengkhianatan untuk hanya khotbah oposisi Paus Yohanes Paulus kepada perang dari mimbar.

“And in right-wing Catholic circles, one often sees more fealty shown toward the Bush administration than the pope! “Dan di kalangan sayap kanan Katolik, kita sering melihat lebih setia yang ditujukan pada pemerintahan Bush dari paus!.

“ Many point that the Catechism seems to defer to the civil authorities when it notes that The evaluation of these [just war] conditions for moral legitimacy belongs to the prudential judgment of those who have responsibility for the common good." Banyak titik yang tampaknya Katekismus tunduk kepada otoritas sipil saat itu mencatat bahwa Evaluasi [ini hanya perang] kondisi untuk legitimasi moral milik penilaian kehati-hatian orang-orang yang memiliki tanggung jawab untuk kepentingan umum."

“Hence soldiers and draftees are morally obliged to obey orders, and civilians are urged to support the war effort lest they be accused of a bevy of abuses ranging from disloyalty to treason”. Oleh karena itu tentara dan wajib militer secara moral berkewajiban untuk mematuhi perintah, dan warga sipil didesak untuk mendukung upaya perang karena mereka dituduh dari sebuah perkumpulan pelanggaran mulai dari tidak setia kepada pengkhianatan.

“We see this quite clearly in the ongoing debate today”. Kita melihat ini dengan sangat jelas dalam perdebatan yang sedang berlangsung hari ini.

“But it's wrong”. Tapi itu salah.

“It is certainly a necessary condition that the secular leadership evaluates the just war conditions, but it is not a sufficient one”. Ini tentu saja merupakan kondisi yang penting bahwa kepemimpinan sekuler mengevaluasi kondisi perang yang adil, tetapi bukan yang memadai. The judgment could be wrong, immoral. Penghakiman yang bisa salah, tidak bermoral.

“Were soldiers in Nazi Germany obliged to obey orders?” Apakah prajurit di Jerman Nazi wajib mematuhi perintah?

“Was the German population obliged to support the war effort?” Apakah penduduk Jerman berkewajiban untuk mendukung upaya perang?

“Of course not!” Tentu saja tidak!

“The Austrian farmer Franz Jägerstätter died as a martyr when he refused to be drafted by the Nazis”. Petani Austria Franz Jägerstätter mati sebagai martir ketika dia menolak wajib militer oleh Nazi.

“He reasoned very clearly that while obedience to the government was ordinarily required, this was not the case in gravely evil situations”. Dia beralasan sangat jelas bahwa meskipun ketaatan kepada pemerintah itu biasanya diperlukan, ini tidak terjadi dalam situasi kejahatan serius.

“And the Nuremberg trials concurred, stating clearly that the "following orders" defense was invalid”. Dan persidangan Nuremberg sependapat, yang menyatakan dengan jelas bahwa "perintah berikut" adalah pertahanan tidak valid.

“Where am I going with this? Di mana aku pergi dengan ini? In earlier days, before the Enlightenment and the rise of the nation state, nationalism, at least as understood today, was non-existent”. Pada hari sebelumnya, sebelum Pencerahan dan kebangkitan negara bangsa, nasionalisme, setidaknya sebagaimana yang dipahami hari ini, itu tidak ada.

“The ruler was regarded as having a divine mandate to rule, but this was contingent upon the ruler supporting the common good”. pemimpin tersebut dianggap sebagai memiliki mandat ilahi untuk memerintah, tapi ini bergantung pada penguasa yang mendukung kepentingan umum.

“There was never any obligation to support tyrants. Tidak pernah ada kewajiban untuk mendukung tiran. Of course, the environment was very different, during a time when borders were in constant flux, and when there was no real concept of a "state" demanding allegiance”. Tentu saja, lingkungan sangat berbeda, pada saat berada di perbatasan fluks konstan, dan ketika tidak ada konsep nyata dari sebuah negara "" menuntut kesetiaan.

“Loyalties were of a local nature”. Kesetiaan adalah yang bersifat lokal.

“But the rise of nationalism changed the equation, as (absent any notion of the divine), the state itself became an end in itself”. Tapi bangkitnya nasionalisme diubah persamaan, sebagai (absen setiap gagasan ilahi), negara itu sendiri menjadi tujuan itu sendiri.

“It is by no accident that many trace the birth of modern nationalism to the French Revolution”. Ini adalah dengan kebetulan bahwa banyak jejak kelahiran nasionalisme modern untuk Revolusi Perancis.

“As Christianity waned, secular mythologies and ideologies arose take its place, and those ideologies often glorified country”. Sebagai Kristen memudar, mitologi dan ideologi sekuler muncul mengambil tempatnya, dan mereka sering dimuliakan ideologi negara.

“In its extreme forms, this ideology quickly shifted into the venomous pseudo-religions that so marked the 20th century”. Dalam bentuk ekstrem, ideologi ini dengan cepat bergeser menjadi pseudo-agama berbisa begitu menandai abad ke-20.

“Even its more benign forms (such as in the United States) it is, in its essence, an artificial concept prone to corruption”. Bahkan yang lebih jinak bentuk (seperti di Amerika Serikat) itu, pada intinya, konsep buatan rentan terhadap korupsi.

“Perhaps we need to reassess nationalism”. Mungkin kita perlu meninjau kembali nasionalisme.

“The ruler in a modern democracy is obliged to protect the common good, chiefly to protecting basic human rights”. Penguasa dalam demokrasi modern wajib melindungi hak kepentingan umum, terutama untuk melindungi dasar manusia.

“Borders are necessary to establish administrative boundaries”. Batas diperlukan untuk menetapkan batas-batas administrasi.

“But should these boundaries be accorded a mystical quality of their own?” Tapi harus diberikan batas-batas kualitas mistis mereka sendiri?

“I don't think so”. Saya rasa tidak.




4.   Berkaitan rencana disahkannya RUU Kewarganegaraan, sejumlah kalangan menilai asas ius soli adalah yang paling pas diterapkan di Indonesia dibanding asas lainnya yakni ius sanguinis dan campuran.

Ketua Umum DPP FKKB Rosita Noer mengemukakan RUU Kewarganegaraan yang saat ini sedang digodok DPR harus lebih tegas dalam menentukan kewarganegaraan seseorang.

"FKKB mengusulkan agar penentuan status tersebut berdasarkan asas 'ius soli' (tempat kelahiran)," kata Rosita dalam seminar dan lokakarya hukum kewarganegaraan.

Menurut Rosita, menengok pengalaman sejarah yang terjadi di Indonesia dan kesadaran bahwa kita hidup di tengah masyarakat dunia, seharusnya tidak ada lagi sekat-sekat dalam pergaulan masyarakat dunia.

Dari asas-asas kewarganegaraan yang ada, kata Rosita, kiranya asas "ius soli" (di mana anak tersebut dilahirkan) lebih tepat dibanding asas lainnya dalam menentukan kewarganegaraan seseorang. "Hal ini juga dikaitkan dengan bentuk negara kita yang terdiri dari kepulauan dan terletak di kawasan perdagangan dunia serta kemajemukan penduduknya yang terdiri dari bermacam suku bangsa," tambahnya.

Dikatakannya, Indonesia masih terus berkewajiban merealisasikan "nation and character building" di mana untuk itu diperlukan hukum yang adil, tegas dan transparan.
"Karena itu, Undang-Undang Kewarganegaraan nantinya bisa sebagai 'test case' pertama untuk mewujudkan hal itu," tegasnya.

Mengenai masalah kewarganegaraan tersebut, Ketua MPR RI Amien Rais saat menjadi pembicara pada diskusi terbatas "Peran Masyarakat Tionghoa dan Kontribusinya dalam Membangun Negara RI", di Surabaya, Sabtu (2/11) juga menyatakan setuju dengan langkah FKKB yang memperjuangkan asas ius soli untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.

Menurut Amien Rais, negara ini sudah semestinya memberikan status kewarganegaraan seseorang, terutama etnis Tionghoa berdasarkan tempat kelahiran.
"Apalagi, saat ini peran mereka baik di pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan juga sudah seimbang dengan masyarakat pada umumnya," katanya.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya Dr Lukas Musianto yang juga menjadi narasumber dalam seminar tersebut sependapat apabila asas ius soli dipakai untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.

Menurut ia, unsur ius soli, tempat dan eksternal sangat dominan daripada unsur internal sehingga menghubungkan keturunan dengan interaksi-interaksi adalah sesuatu yang tidak tepat.

"Mengingat situasi sosiologis yang ada, asas ius soli lebih tepat digunakan untuk menentukan status kewarganegaraan. Sebaliknya, dasar keturunan hanyalah menimbulkan perpecahan, kejanggalan atau ketertinggalan sejarah," katanya.

Ketua Komisi II (bidang hukum) DPR RI, A Teras Narang SH dalam kesempatan sama berpendapat memang harus ada perubahan yang cukup mendasar dalam UU Kewarganegaraan di masa mendatang.

Menurut ia, yang perlu diingat adalah menghindari penggunaan istilah penduduk asli atau bangsa Indonesia asli karena tidak sesuai dengan hasil amandemen UUD 1945 yang membedakan penduduk antara WNI dan orang asing (WNA).

Sementara untuk golongan etnis Tionghoa, lanjut Teras Narang, proses kewarganegaraan tidak hanya didasarkan pada kelahiran dan pewarganegaraan seperti yang ada sekarang, tetap perlu juga dipertimbangkan melalui cara registrasi.

Selain mempermudah peranakan etnis Tionghoa yang sungguh-sungguh ingin mendapatkan status sebagai WNI, juga dapat diterapkan bagi anak orang Indonesia yang orang tuanya telah lama tinggal di luar negeri, tetapi tidak mengubah status kewarganegaraan.

"Tapi prosedur registrasi menjadi WNI harus dipermudah, tidak berbelit-belit, murah dan transparan, tidak seperti saat proses naturalisasi dulu," katanya. (ant)

Sumber :



5.   Pendapat Hukum yang Obyektif Terhadap Kasus Manohara 15-06-2009 Jakarta – Pertama-tama perkenankanlah saya menyatakan sejujurnya. Sebenarnya saya sama sekali tidak peduli dengan pemberitaan tentang kasus Manohara yang selama ini sering menjadi headline hampir semua media massa. Baik media elektronik maupun media cetak. Namun, sebagai seorang praktisi hukum yang tentunya telah menempuh pendidikan formal di bidang hukum dan berpengalaman dalam menangani masalah-masalah hukum serta kebetulan  saya memang seorang pemerhati masalah hukum, baik hukum nasional maupun internasional, akhirnya saya merasa berkewajiban untuk memberikan opini atau pendapat.

Hukum terhadap kasus Manohara ini yang menurut saya penanganan kasusnya sudah melebar dan melenceng dari prosedur peraturan hukum yang lazim yang berlaku. Baik hukum Indonesia maupun hukum internasional.

Jadi dalam hal ini saya bukannya ingin memanfaatkan kasus ini untuk ikut numpang beken. Atau istilah-istilah lain yang berkonotasi sama. Namun, semata-mata sebagai seorang praktisi hukum saya berusaha ingin meluruskan penanganan kasus Manohara yang telah jauh melenceng tersebut.

Baiklah. Selanjutnya saya akan mencoba untuk menganalisis satu per satu permasalahan dalam kasus Manohara tersebut.

a)  1. Delik atau Tindak Pidana yang dituduhkan oleh Manohara terhadap suaminya. Sepengetahuan saya yang tidak mengikuti secara detail kasus ini. Namun, sepintas saya mendengar atau membaca bahwa tindak pidana yang disangkakan kepada suaminya Putra Raja Kelantan Malaysia adalah:

Ø  Penganiayaan
Ø  Penyekapan
Ø  Pemerkosaan
Ø  Berbagai perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya
Ø  Tindak pidana yang dituduhkan tersebut terjadi dalam sebuah keluarga, yaitu oleh suami terhadap istri.

Dalam Hukum Indonesia tindak pidana yang dituduhkan tersebut termasuk kategori Tindak Pidana Umum di mana penyidik tunggalnya adalah Polri. Dalam penanganan kasus pidana tersebut hanya dapat dilakukan oleh Pihak Kepolisian yang wewenang/jurisdiksinya mencakup wilayah tempat kejadian perkara/kasus yang dituduhkan tersebut setelah menerima laporan resmi dari Korban dengan disertai bukti-bukti dan saksi saksi.

b)  2. Locus Delicti atau Tempat Kejadian Perkara (TKP). Tempat Kejadian Perkara yang dituduhkan oleh Manohara adalah di Negara Malaysia, yang berada di luar jurisdiksi hukum nasional dan aparat kepolisian Indonesia. Jadi dalam kasus yang menimpa Manohara ini, yang bisa menangani perkara tersebut adalah Kepolisian Diraja Malaysia karena Tempat Kejadian Perkara ini adalah di Malaysia.

Kepolisian Indonesia hanya dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan di wilayah hukum negara Indonesia termasuk Kedutaan Besar RI di luar negeri, di atas kapal berbendera Indonesia, atau terhadap tindak pidana yang dianggap mengancam kedaulatan negara yang dilakukan di luar negeri.

Manohara dan keluarga seharusnya berterima kasih kepada Mabes Polri yang mau menerima Laporan Ibunya Manohara dan sempat melakukan pemeriksaan. Seandainya saya adalah Petugas Kepolisian yang bertugas di bagian penerimaan Laporan/Pengaduan Mabes Polri, secara tegas saya akan menolak laporan tersebut karena kasusnya di luar jurisdiksi kepolisian Indonesia.

c)  3. Dapatkah Manohara meminta visum kepada Dokter Forensik? Secara harafiah visum et repertum adalah apa yang dilihat dan apa yang diketemukan. Tetapi, pengertian peristilahan, keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau meninggal dunia (mayat).

1.   Prosedur permintaan visum ini, sebagai berikut: Permohonan harus dilakukan secara tertulis, oleh pihak-pihak yang diperkenankan untuk itu. Alasannya karena permohonan visum ini berdimensi hukum, artinya dokter tidak boleh dengan serta merta melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka, yang terganggu kesehatannya atau pun seseorang yang mati karena tindak pidana atau tersangka sebagai korban tindak pidana.

2.   Permohonan ini harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti kepada dokter ahli kedokteran kehakiman. Alasannya untuk dapat menyimpulkan hasil pemeriksaannya, dokter tidak dapat melepaskan diri dari dengan yang lain. Artinya peranan alat bukti yang lain selain korban mutlak diperlukan.

3.   Pihak-pihak yang berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman dalam kaitannya dengan persoalan hukum yang hanya dapat dipecahkan dengan bantuan ilmu kedokteran kehakiman :

o   Hakim pidana, melalui jaksa dan dilaksanakan oleh penyidik;
o   Hakim perdata, meminta langsung kepada ahli kedokteran;
o   Hakim pada Pengadilan Agama;
o   Jaksa penuntut umum;
o   Penyidik

4.   Peran Pengacara/Advokat Indonesia yang mendampingi Manohara dan keluarga. Berdasarkan uraian singkat di atas sudah saya jelaskan bahwa Tindak Pidana yang dituduhkan adalah dilakukan di Malaysia dan yang berwenang untuk menangani perkaranya adalah Kepolisian Malaysia. Jadi dalam hal ini tugas/fungsi Pengacara/Advokat hanyalah sebatas memberikan nasihat-nasihat hukum yang berguna bagi Manohara sesuai/berdasarkan pertauran hukum yang berlaku. Bukannya malah memberikan nasihat yang malah justru akan menjerumuskan Manohara.

5.    Bisakah Manohara pemperkarakan kasus ini ke Mahkamah Internasional

(International Court Of Justice) di Jenewa Swiss? Dalam beberapa press conference jelas-jelas Manohara, Ibunya, dan pengacaranya menyatakan mengancam akan memperkarakan kasus ini ke Mahkamah Internasional di Jenewa Swiss apabila Kepolisian Indonesia dan Kepolisian Malaysia tidak menanggapi secara serius kasus yang menimpa Manohara tersebut.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bisakah Manohara memperkarakan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional?

Mahkamah Internasional adalah peradilan untuk negara seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 34 ayat 1 Statuta Mahkamah yang menyatakan bahwa: “Only states may be parties in cases before the Court”. Dengan demikian berarti bahwa perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional pada umumnya tidak dapat menjadi pihak untuk berperkara di muka Mahkamah Internasional.

Untuk organisasi internasional adalah suatu perkecualian, berdasarkan advisory opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa dipandang sebagai person yang mampu untuk mengadakan klaim atau gugatan terhadap negara. Hal itu adalah satu-satunya perkecualian dari prinsip bahwa organisasi internasional pada umumnya tidak dapat atau tidak diberi hak untuk menjadi pihak dalam perkara kontradiktor.

Jadi dalam hal ini sudah jelas bahwa Manohara adalah seorang individu perorangan dan berarti tidak bisa mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional hanya biasa menerima kasus tersebut apabila kepentingan Manohara tersebut diwakili oleh Negara Indonesia dan yang menjadi pihak yang diperkarakan yaitu Suaminya Manohara diwakili oleh Negara Malaysia, seperti yang dilakukan oleh Libya yang memperkarakan Amerika Serikat, Inggris, dan Skotlandia ketika membela kepentingan Warga negaranya yang dituduh terlibat dalam peristiwa jatuhnya pesawat Pan Am di Skotlandia yang terkenal sebagai kasus Lockerbie.

Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kasus Manohara ini sudah ‘pantas’ untuk dibela mati-matian oleh Pemerintah Indonesia seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Libya tersebut?

6.   Status kewarganegaraan Manohara dalam kaitannya dengan masalah perlindungan terhadap WNI di luar negeri. Dalam beberapa kali press conference, Manohara menyatakan kekecewaannya terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia dan Singapura yang dianggap tidak “melindungi” dirinya yang merupakan WNI.

Terhadap hal ini perlu diperjelas status kewarganegaraan Manohara. Apakah masih WNI atau telah menjadi Warga Negara Malaysia mengingat dia telah menikah dengan Warga Negara Malaysia. Dan, mengenai perlindungan terhadap WNI yang dikeluhkan oleh Manohara tersebut, menurut saya tugas utama KBRI di luar negeri adalah melindungi WNI yang berada di luar negeri sebagai TKI, pelajar/mahasiswa, turis, dan lain-lain status di mana WNI tersebut tidak tunduk atau terikat dalam hukum privat negara tersebut.

Sedangkan Manohara adalah WNI yang telah menikah dengan Warga Negara Malaysia. Pernikahannya pun dilakukan di Malaysia. Tentunya dia terikat dengan Hukum Perkawinan Malaysia dan Hukum Kewarganegaraan di Malaysia.

Apalagi fakta menyebutkan bahwa ternyata Manohara memiliki dua kewarganegaraan yaitu WNI dan Amerika Serikat (dan mungkin juga WN Malaysia apabila ternyata Undang-Undang Kewarganegaraan Malaysia dan Undang-Undang perkawinan mengaturnya). Berarti Manohara telah melanggar Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia karena Indonesia tidak menganut Dwi Kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda.

Dalam Pasal 23c Undang-Undang No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan diatur bahwa apabila seseorang WNI mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku di negara lain atas namanya, maka WNI tersebut dapat kehilangan kewarganegaraannya.



Kesimpulan dan saran :

Ø  1. Kasus Manohara tersebut merupakan kasus Pidana Umum/Biasa yang penanganan perkaranya hanya dapat dilakukan oleh Kepolisian Malaysia.

Ø  2. Kasus tersebut ‘tidak bisa’ diperkarakan di Mahkamah Internasional.

Ø  3. Manohara sebaiknya melaporkan kasus tersebut ke Kepolisian Malaysia karena hanya     Kepolisian Malaysia yang berwenang menangani kasus tersebut.

Ø  4. Apabila dalam menyampaikan laporan kepada Kepolisian Malaysia tersebut Manohara merasa perlu didampingi oleh penasehat Hukum, maka yang dapat mendampinginya adalah Pengacara/Advokat yang memliki Izin Praktek di Malaysia.

Ø  5. Perlu ditelusuri lebih lanjut tentang status kewargenagaran Manohara berdasarkan Uandang-Undang Kewarganegaraan Indonesia, dan peraturan serupa di Malaysia.


Sumber :


0 komentar:

Posting Komentar